Membangun Budaya Positif di Sekolah
Nama : Dewi Ati Rohmatilah
Asal Sekolah : SD Negeri Cirata
Calon Guru Penggerak Angkatan-4 KBB 2021
Sekolah sebagai pusat
pengembangan karakter dan budaya positif sangat tepat sekali jika didukung oleh
visi sekolah yang berpihak pada murid berorientasi
penuh pada murid. Dalam mewujudkan visi sekolah dan melakukan proses perubahan
tersebut harus dilakukan secara kolaboratif dan berbasis pada kekuatan yang
dimiliki sekolah. Adanya kebiasaan -kebiasaan berupa sikap, perbuatan dan segala
bentuk kegiatan yang dilakukan sekolah sebagai budaya sekolah serta partisipasi
semua warga yang mendukung terhadap perubahan positif dan konsisten membutuhkan
waktu dan bersifat bertahap merupakan tujuan pencapaian perubahan yang lebih
baik dari kondisi saat ini. Pernyataan di atas berorientasi pada membangun
budaya positif di sekolah. Pernyataan di atas didukung oleh pernyataan Ki
Hadjar Dewantara bahwa Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih
kebudayaan dalam masyarakat. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan
bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diwariskan. Oleh karena itu
pendidik dapat menjadi pewaris nilai-nilai di masyarakat yang bisa
ditransformasikan kepada para murid melalui keteladan, pembiasaan, dan kegiatan
ekstrakurikuler lainnya. Seperti dipertegas oleh filosofi Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidik itu harus menjadi Ing Ngarso Sung Tulodo (pendidik harus memberi
teladan, contoh dalam berkata dan berprilaku) Ing Madyo Madyo Mangun Karso(pendidik
harus menyemangati murid untuk terus berprestasi), Tut Wuri Handayani (pendidik
harus memberikan dorongan sehingga memotivasi , menuntun murid dalam membuat
keputusan dan menguatkannya).
Menurut Ki Hadjar
Dewantara tujuan dari Pendidikan adalah
menuntun segala kodrat yang ada pada anak, agar mereka dapat mencapai
keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun
sebagai anggota masyarakat. Dalam proses
menuntun, anak perlu diberikan kebebasan dalam belajar serta berpikir. Pendidik harus dapat memfasilitasi kegiatan
pembelajaran secara holistik antara cipta, rasa, dan karsa juga raga secara
seimbang yaitu dapat menumbuhkembangkan budi pekerti melalui merdeka belajar. Merdeka
belajar memberikan semangat agar anak bisa bebas belajar, berpikir agar
mencapai keselamatan dan kebahagian berdasarkan kesusilaan untuk menuju profil
pelajar Pancasila. Karakter yang dikembangkan
dalam profil pelajar Pancasila adalah sebagai berikut:
1.
Beriman,
bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia
2.
Mandiri
3.
Bergotong
rotong
4.
Berkebhinekaan
global
5.
Bernalar
kritis
6.
Kreatif
Merdeka belajar memberi
kesempatan kepada murid untuk belajar
senyaman mungkin dalam suasana bahagia tanpa adanya rasa tertekan. Adanya lingkungan belajar yang nyaman dan Bahagia
harus didukung oleh budaya positif. Budaya positif dibangun oleh lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar
murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri,
dan bertanggung jawab.
|
Kegiatan check suhu |
Budaya positif berkaitan
dengan disiplin. Bentuk disiplin yang dijalankan di sekolah selama ini sering
dihubungkan dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata disiplin” sering dihubungkan dengan
hukuman, dan ketidaknyamanan . Namun menurut
Diane Gossen bahwa disiplin berkaitan dengan kontrol guru dalam menghadapi murid. Seorang guru yang memahami teori kontrol akan
mengubah pandangannya dari teori stimulus respons ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan.
Posisi kontrol guru dalam
menghadapi murid memiliki peran penting
dalam membina disiplin positif, karena disiplin
positif merupakan unsur utama dalam terwujudnya budaya positif di sekolah kita.
Disiplin positif tidak harus
dengan memberi hukuman, dan bahkan kalau perlu hukuman tidak digunakan sama sekali.
Berkaitan dengan
pernyataan di atas Ki Hadjar mengemukakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan,
kita harus menciptakan murid yang merdeka, syarat utama murid merdeka adalah memiliki disiplin diri. Disiplin diri yaitu disiplin yang memiliki
motivasi internal yang berasal dari dalam diri. Jika kita
tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan motivasi eksternal yang berasal dari luar diri kita.
Disiplin diri dapat
membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang
dihargai dan bermakna. Disiplin diri mempelajari bagaimana cara kita mengontrol
diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada
nilai-nilai yang kita hargai. Seseorang yang memiliki disiplin diri berarti
mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya, karena mereka
mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Sebagai
pendidik, kita memiliki tujuan menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin
diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan
universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Beberapa aspek yang perlu kita perhatikan dalam membangun budaya positif yaitu :
1.
Motivasi
Perilaku Manusia
Setiap perilaku yang
dilakukan murid adalah untuk menghindari ketidaknyamanan dan untuk mendapatkan
apa yang kita inginkan. Menurut Menurut Diane
Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, bahwa ada 3 alasan
motivasi perilaku manusia yaitu :
a. Untuk
menghindari ketidaknyamanan atau hukuman. Ini adalah tingkat terendah dari
motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk
menghindari hukuman atau ketidaknyamanan.
b. Untuk
mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Satu tingkat di atas
motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau
penghargaan dari orang lain. Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan
pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam
dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan
hadiah, pengakuan, atau imbalan.
c. Untuk
menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan
nilai-nilai yang mereka percaya. Mereka
melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka
melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang menghargai diri sendiri
dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Motivasi
ini akan mendorong seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi
berperilakunya bersifat internal yang berdampak jangka panjang, motivasi yang
tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap
berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin
menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.
2.
Kebutuhan
Dasar
Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu.
Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang
kita inginkan.
Kebutuhan
dasar manusia, terdiri dari :
a.
kebutuhan
untuk bertahan hidup (survival),
b.
cinta
dan kasih sayang (love and
belonging),
c.
kebebasan
(freedom),
d.
kesenangan
(fun),
e.
kekuasaan
(power).
Ketika
seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai
kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka
gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Glasser menyatakan bahwa kapasitas untuk berubah ada
di dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi kebutuhan apa yang
mendorong perilaku kita, maka perubahan perilaku positif dapat dimulai dengan
mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang positif
daripada cara yang negatif.
3. Posisi
Kontrol Restitusi
Pendidik perlu meninjau kembali penerapan disiplin yang selama ini kita lakukan. Apakah telah
efektif, apakah
berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa?
Menurut Gossen ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua
ataupun atasan dalam
melakukan kontrol yaitu sebagai berikut:
- Penghukum:
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang
yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah
memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam
lagi.
- Pembuat
Orang Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih
lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat
orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri.
- Teman:
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya
mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun
positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan
murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk
mempengaruhi seseorang.
- Monitor/Pemantau:
Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab
atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada
peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi,
kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, Seorang pemantau sangat
mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti
atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan,
daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang
menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol
murid.
- Manajer:
Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu
bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya,
mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.
Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau,
dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua
posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi
manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu
kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya
sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun
kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan
murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada.
4. Keyakinan
Kelas
Setiap
tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan
terciptanya sebuah lingkungan positif.
Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya
membentuk sebuah budaya positif. Untuk
terbentuknya budaya positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati
keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga
kelas. Keyakinan yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal
yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku,
negara, bahasa maupun agama.
Menurut
Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau
memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat
untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian
peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan mendalami
tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang
mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu.
Pembentukan
Keyakinan Kelas adalah sebagai berikut:
•
Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci
dan konkrit.
•
Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
•
Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
•
Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan
dipahami oleh
semua warga kelas.
•
Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
•
Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas
lewat
kegiatan curah pendapat.
•
Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.
1. 5. Segitiga
Restitusi
Restitusi
merupakan cara menanamkan disiplin positif pada murid. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi
bagi murid untuk memperbaiki kesalahan
mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih
kuat (Gossen; 2004).
Restitusi
merupakan proses kolaboratif yang
mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid
berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka
harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Restitusi membantu murid menjadi lebih
memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat
salah.
Penekanannya
bukan pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari
ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah
menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Melalui restitusi, ketika murid berbuat
salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat
evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki
kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya.
Restitusi
menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah.
Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol
William Glasser tentang solusi menang-menang.
Ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program
disiplin lainnya adalah sebagai berikut:
- Restitusi
bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan. Adanya inisiatif dan keinginan dari murid yang berbuat
salah untuk melakukan sesuatu rasa penyesalan. Fokusnya tidak hanya pada
mengurangi kerugian pada korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang lebih
baik dan melakukan hal baik pada orang lain dengan kebaikan yang ada dalam diri
kita. Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik untuk masa
depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa pakai terus menerus
di masa depan untuk menjadi orang yang lebih baik.
- Restitusi
memperbaiki hubungan. Restitusi adalah tentang memperbaiki hubungan dan
memperkuatnya. Restitusi juga membantu murid-murid dalam hal mereka ingin
menjadi orang seperti apa dan bagaimana mereka ingin diperlakukan. Restitusi
adalah proses refleksi dan pemulihan. Proses ini menciptakan kondisi yang aman
bagi murid untuk menjadi jujur pada diri mereka sendiri dan mengevaluasi dampak
dari tindakan mereka pada orang lain. Ketika proses pemulihan dan evaluasi diri
telah selesai, mereka bisa mulai berpikir tentang apa yang bisa dilakukan untuk
menebus kesalahan mereka pada orang yang menjadi korban.
- Restitusi
adalah tawaran, bukan paksaan. Memaksa melakukan restitusi bertentangan dengan
perkembangan moral, yaitu kebebasan untuk membuat pilihan.
- Restitusi
menuntun untuk melihat ke dalam diri. Dalam proses restitusi kita akan melihat adanya
ketidakselarasan antara tindakan murid yang berbuat salah dan keyakinan mereka
tentang orang seperti apa yang mereka inginkan.
Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari
tindakan untuk berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi
murid untuk memahami dampak dari tindakannya pada orang lain. Restitusi diri
adalah cara yang paling baik, murid belajar untuk mengubah kebiasaan dari kecenderungan
untuk mengomentari orang lain, menjadi mengomentari diri sendiri.
Ketika murid bisa melakukan restitusi diri maka dia
akan bisa mengontrol dirinya dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik
pula. Restitusi fokus pada karakter
bukan Tindakan. Segitiga restitusi/restitution triangle. Proses ini
meliputi tiga tahap dan setiap tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari
Teori Kontrol, yaitu :
- .
Menstabilkan
Identitas (Stabilize the Identity ), Kita semua akan melakukan hal
terbaik yang bisa kita lakukan
- .
Validasi Tindakan yang salah (Validate the Misbehaviour),
Semua perilaku memiliki alasan.
- .
Menanyakan
Keyakinan (Seek the Belief ), Kita semua memiliki motivasi internal
Ketiga
strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi.
Langkah-langkah itu tidak harus dilakukan satu persatu. Banyak guru yang sudah
menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan
tanpa mengetahui tentang teori restitusi.
Berikut
adalah link aksi nyata- Budaya Positif yang sudah saya lakukan, mudah-mudah
bermanfaat mohon berkenan subscribe , terimakasih https://youtu.be/MZyfX8Gc8Ks